Rabu, 25 November 2009

PERCERAIAN DAN DAMPAKNYA PADA ANAK

Kasus peceraian sering dianggap suatu peristiwa tersendiri dan menengangkan dalam kehidupan keluarga. Tetapi, peristiwa ini sudah menjadi bagian kehidupan dalam masyarakat. Kita tidak boleh mengatakan bahwa kasus tersebut bagian dari kehidupan masyarakat tetapi yang menjadi pokok maslah yang perlu direnungkan, bagaimanakah akibat dan pengaruhnya terhadap diri anak?

Peristiwa perceraian dalam keluarga senantiasa membawa dampak yang mendalam. Kasus ini menimbulkan stress, tekanan, dan menimbulkan perubahan fisik, dan mental. Keadaan ini dialami oleh semua anggota keluarga, ayah, ibu dan anak.

Kasus perceraian di Amerika Serikat dan Inggris setiap tahunnya meningkat. Dari biro sttistik diperoleh data bahwa antara tahun 1965 dan tahun 1976, angka perceraian itu rata-rata bertambah menjadi dua kali lipat dari kurun sebelummua. Dilaporkan juga pada saat sekarang hamper seperdua pasangan keluarga baru akan berakhir dengan perceraian.

Menurut hasil beberapa penelitian, hamper 60% kasus perceraian di Amerika Serikat dan 75% di Inggris melibatkan anak-anak. Meski sudah ada ketentuan dan undang-undang tentang pihak siapa yang bertanggung jawab atas diri anak dalam kasus perceraian itu, namun kenyataannya sering pihak ibu yang mencapai 90% mengambil ahli tanggung jawab itu.

Pada tahun 1979, di Amerika Serikat hanya 10% dan Inggris 7% anak-anak diasuh oleh ayahnya. Angka ini pun sudah menunjukkan peringkat tiga kali lipat sejak tahun 1960. dan biasanya ayah sering lebih suka menanggung anak usia sekolah dari pada anak usia kecil.

Perceraian dalam keluarga itu biasanya berawal dari suatu konflik antara anggota keluarga. Bila konflik ini sampai titik kritis maka peristiwa perceraian itu berada di ambang pintu. Peristiwa ini selalu mendatangkan ketidaktenangan berfikir dan ketegangan itu memakan waktu lama. Pada saat kemelut ini, biasanya masing-masing pihak mencari jalan keluar mengatasi berbagai rintangan dan berusaha menyesuaikan diri dengan hidup baru. Masing-masing pihak menerima kenyataan baru seperti pindah rumah, tetangga baru, anggaran rumah baru. Acara kunjungan pun berubah. Situasi rumah menjadi lain karena diatur oleh satu orang tua saja.

Banyak factor yang menyebakan terjadinya kasus pertikaian dalam keluarga yang berakhir dengan perceraian. Factor-faktor ini antara lain, persoalan ekonomi, perbedaan usia yang besar, keinginan memperoleh putra (putri), dan persoalan prinsip hidup yang berbeda. Factor lainnya berupa perbedaan penekanan dan cara mendidik anak, juga pengaruh dukungan social dari pihak luar, tetangga, sanal saudara,sahabat, dansituasi masyarakat yang terkondisi, dan lain-lain. Semua factor ini menimbulkan suasana keruh dan meruntuhkan kehidupan rumah tangga.

Menjelang gentingnya konflik ini biasanya sang ayah kurang memikirkan risiko yang bakal terjadi dalam mengasuh anak sementara ibu paling memikirkan risiko akibat perceraian. Dan bagaimana pun kasus perceraian itu jelas-jelas membawa risiko yang berantai. Dan yang paling dipersoalkan adalah dampaknya dalam diri anak.

DAMPAKNYA TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK

Sejauh manakah pengaruh perceraian itu pada perkembangan anak. Pada usia berapakah seorang anak itu lebih menderita akibatdari peristiwa perceraian? Hetherington mengadakan penelitian terhadap anak-anak usia 4 tahun pada tahun pada saat kedua orang tuanya bercerai. Peneliti ingin menyelidiki kasus perceraian itu akan membawa pengaruh bagi anak usia di bawah 4 tahun dan di atas 4 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa kasus peceraian ituakan membawa trauma pada setiap tingkat usia anak, meski dengan kadar berbeda.

Setiap tingkat usia anak dalam menyesuaikan diri dengan situasi baru-baru ini memperlihatkan cara dan penyelesaian berbeda. Kelompok anak yang belum berusia sekolah pada saat kasus ini terjadi, ada kecenderungan untuk mempersalahkan diri bila ia menghadapi masalah dalam hidupnya. Ia menangisi dirinya. Umumnya anak usia kecil itu sering tidak betah, tidak menerima cara hidup yang baru. Ia tidak akrab dengan orang tuanya. Anak ini sering dibayangi rasa cemas, selalu ingin mencari ketenangan.

Kelompok anak yang sudah menginjak usia besar pada saat terjadinya kasus perceraian memberi reaksi lain. Kelompok anak ini tidak lagi meyalahkan diri sendiri, tetapi memiliki sedikit perasaan takut karena perubahan situasi keluarga dan merasa cemas karena ditinggalkan salah satu orang tuanya.

Ketika anak menginjak usia remaja, anak sudah mulai memahami seluk-beluk arti perceraian. Mereka memahami, apa akibatnya yang bakal terjadi dari peristiwa itu. Mereka menyadari masalah-masalah yang bakal muncul, soal ekonomi, social, dan factor-faktor lainnya.

Juth Wallerstein dan Joan Kelly meneliti 60 keluarga yang mengalami kasus perceraian di California. Peneliti menemukan bahwa anak usia belum sekolah akan lebih menemukan kesulitan dalam menyesuaikan diri menghadapi situasi yang baru. Sementara anak usia remaja dilaporkan mereka mengalami trauma yang mendalam. Tetapi, dilaporkan 44% anak-anak usia belum sekolah itu perlahan-lahan mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru itu. Dua puluh tiga persen dari kelompok usia 7-10 tahun mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya.

Beberapa diantara anak-anak usia remaja dalam menghadapisituasiperceraian memahami sekali akibat yang bakal terjadi. Hetherington mengungkapkan,” jika perceraian dalam keluarga itu terjadi saat anak menginjak usia remaja, mereka mencari ketenangan, entah di tetangga, sahabat atau teman sekolah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar