Senin, 23 November 2009

Rasanya Menjadi Guru Sekolah Luar Biasa

Lonceng di Sekolah Luar Biasa atau SLB. Berdentang beberapa kali sekitar pukul 07.00 WIB, kemarin, tanda jam masuk sekolah dimulai. Walau ada suasana ujian nasional bagi siswa kelas tiga SMA sekolah tersebut adalah satu gedung dengan SMP dan SD, aktifitas belajar bagi siswa lainnya berlangsung normal.


Keluar dari ruang guru dengan langkah teratur, wanita berkaca mata minus dipadu jilbab warna hitam menutupi kepalanya dan di padu seragam coklat terusan, Yusmarni menuju ruang rombongan belajar (rombel) B di lantai dua sekolah itu. Tanpa sapaan hormat atau salam dari para siswanya, ia tetap tersenyum menyapa delapan anak cacat atau berkebutuhan khusus yang seakan tak sabar menunggunya.


Wanita kelahiran Siak, Riau 30 September 1964 ini mulai memberikan materi pelajaran bahasa Indonesia. Sebelum melanjutkan materi yang baru, ia kembali mengajak delapan siswanya yang diketahui masuk kategori rombel tuna rungu itu mengingat kembali materi yang diberikan pekan lalu.


Tak ada tanya jawab. Maklum, anak-anak itu tak bisa berbicara seperti anak-anak normal lainnya karena mereka bisu (tuna rungu). Memanfaatkan bahasa isyarat lewat tangan maupun mulut yang komat kamit seakan telah dimengerti oleh mereka.
Anak-anak itu tak hanya bisu, mereka juga rada budeg alias tuli. Dengan demikian percuma saja berteriak atau menerangkan materi pelajaran ke mereka. Untuk jadi acuan belajar siswa, ia terpaksa menulis apa yang akan diajarakan di white board berukuran 1,5 x 2,5 meter yang terpampang di dinding sekolah.


Saat wajahnya menghadap papan, anak-anak itu bukannya diam. Mereka malah bermain hingga berkelahi menggunakan bahasa isyarat. “Ini belum seberapa. Mungkin mereka malu melihat bapak,” ujar Yusmarni ketika dihampiri saya.


Biasanya kata ibu dua anak itu, anak-anak bisu sangat ribut saat guru lagi serius mengajari mereka. Suara mereka yang tak jelas vokalnya itu kadang memekikan telinga. Belum lagi meja, kursi atau barang-barang yang mereka pegang digunakan untuk saling menghujat dan melempari.


Tetap senyum, itulah yang dilakukan Yusmarni untuk menenangkan anak-anak itu. Terkadang ia harus menatap mereka dengan sorotan mata yang tajam sebagai tanda isyarat bahwa anak-anak itu akan dimarahi. ”Tak pernah anak-anak itu kami hukum. Mental mereka tak sama dengan orang normal lainnya,” ujarnya sambil sesekali menyeka keringat di pipinya.
Selama 15 tahun profesi sebagai guru sekolah luar biasa itu ia tekuni dengan santai dan itu adalah bagian dari hidupnya. Mengajar anak-anak cacat adalah sebuah tujuan hidup dan bukan untuk kegiatan amal bagi Yusmarni. Ia mengaku termotivasi untuk mengangkat derajat hidup anak-anak cacat atau yang berkebutuhan khusus itu agar bisa mandiri, tidak tergantung kepada orang lain maupun dalam bermasyarakat.


Tentunya ini suatu cita-cita mulia bagi anak pensiunan PNS itu. Menurut dia sejak lulus SMA di Pekanbaru, ia tertarik mengambil formulir pendaftaran sebagai calon mahasiswa diploma dua (D2) sekolah guru pendidikan luar biasa (PGSLB). Dua tahun menimbah ilmu sebagai calon guru untuk sekolah anak-anak cacat itu, ia memilih jurusan tuna grahita (cacat mental).


Bermodalkan ijazah D2 tuna grahita, ia diterima sebagai guru di sekolah luar biasa . 15 Tahun sudah ia mengabdi di sekolah khusus itu. Lebih banyak rasa bahagianya ketimbang duka selama belasan tahun berdedikasi mengajarkan anak-anak cacat tersebut.


Tak ada pujian atau penghargaan atas pengabdian itu. Hanya menyandang status pegawai negeri sipil, dan seabrek harapan agar anak didiknya bisa berguna di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.


Atas pengabdiannya, istri seorang guru sekolah dasar ini mengaku sudah tiga anak muridnya hidup mandiri dan bisa bekerja seperti anak-anak normal lainnya. Dua diantaranya kini bekerja di Rumah Sakit , sedangkan satu lainnya bekerja di sebuah salon kecantikan.


Menurut dia ada dua siswanya yakni Wiwid (tuna grahita) waitres dan Norfaizal (tuna rungu) bagian laundry di RSBK, sedangkan Megawati saat ini bekerja di salah satu salon kecantikan di kompleks ruko . “Dari banyaknya siswa itu, baru tiga orang yang diketahui memiliki pekerjaan tetap setara dengan anak normal lainnya,” ujar dia.


Terbiasa menghadapi anak-anak cacat itu tidak serta merta membuatnya bisa berkomunikasi dengan semua anak cacat khususnya yang tidak bersekolah. Pasalnya, bahasa isyarat yang sekolah dan tidak, itu jauh berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar